Sejak kecil saya akrab sekali dengan sarapan nasi kuning. Namun ada yang beda ketika sarapan nasi kuning di Manado. Nasi kuning di Jawa, lauknya bihun, irisan telur goreng, oreg tempe, taburan bawang merah, kerupuk dan sambal. Nasi kuning di Manado lain cerita, tambahan lauknya terbuat dari olahan ikan cakalang, agak sedikit pedas memang. Tapi rasa pedasnya masih bersahabat dengan lidah saya yang tak tahan pedas. 1 bungkus cukup merogoh kocek Rp3.000 saja. Cukup bersahabat dengan kantong para backpacker yang menginjakkan kaki di bumi kawanua ini.
Terkesan sekali menikmat wisata kuliner pagi ini, sekaligus menikmati matahari jatuh perlahan, memancarkan kilaunya ke luasan laut. Pantai Boulevard Manado, jika musim libur banyak dikunjunig warga Manado yang ingin menikmati udara pagi sambil sarapan. Ada juga anak-anak yang belajar sepeda. Main bola dan bulu tangkis. Saya melihat deretan orang-orang tua muda mengantri nasi kuning. Saya pun ditawari oleh salah satu teman saya. Perut lapar dipagi hari, nasi kuning khas Manado menggoda hati. Tak pikir panjang saya langsung memesannya.
Kami duduk dibibir pantai menghadap pemandangan Gunung Manado Tua. Bercerita menjadi selingan tersendiri kala kami menikmati hilir mudik ikan dilautan. Saya tidak tahu jenisnya ikan-ikan itu, kadang ada juga lalulalang ular laut terlihat dengan warna hitam-putih. Plung warga penikmat bibir pantai melempar botol air mineral kosong ke pantai. Sedih saya menyaksikan itu. Ternyata dibawahnya sudah banyak tumpukan sampah plastik. Saya masih melihat kejernihan beningnya air laut pada Juni 2011 ini.
Reklamasi pantai sepanjang 4,2 KM dikawasan ini tak dapat di elakkan lagi. Tempat ini menjadi salah satu landmark kota Manado. Sore hari warga dan wisatawan dapat menikmati sunset sambil santai-santai. Mengambil gambar nelayan yang pulang sore hari dibawah matahari terbenam. Sungguh objek yang sangat menarik bagi pencinta fotografi.
Keliling Manado, meski belum terjajah semua, rasanya sudah cukup puas. Mencicipi makan nasi kuning juga sudah terpuaskan. Lalu kami beranjak ke tempat wisata pantai yang ada di Sulawesi Utara bagian lain.
Pantai Mangatasik
Deburan ombak kecil bergemuruh melengkapi matahari siang yang terik. Nyiur menari-nari dibibir pantai. Pasirnya yang hitam menjadi ciri khas pantai ini. Dari kejauham terlihat gagah Gunung Manado Tua manampakkan diri. Cipratan air dimainkan anak perempuan di pinggir pantai sendirian. Pantai Mangatasik namanya. Terletak di sebelah selatan kota Manado. Namun secara administrative masuk Kabupaten Minahasa. Berjarak 20 KM dari kota Manado.
Seorang laki-laki setengah baya, duduk dipinggir kursi bambu yang tersedia ditepi pantai, menemani kami ngobrol. Setiap sabtu dan minggu pantai ini dijadikan warga rekreasi dengan biaya murah. Deretan warung yang menyediakan kelapa segar siap melayani pengunjung. Saya dan teman saya Angel memang sengaja datang pagi-pagi. Supaya tak bentrok dengan warga sekitar yang ingin bertamasya. Pagi hari warga sekitar Pantai Mangatasik pergi ke Gereja terlebih dahulu, setelah itu baru beranjak ke Pantai Mangatasik ini.
Menuju pantai ini sangat mudah. Dari pusat kota Manado atau depan kawasan boulevard naik angkot jurusan Malalayang. Kemudian diteruskan dengan angkot rute Tawangkoko. Ongkosnya Rp6.000. Saya tiba di pantai ini sekitar jam 10 wita. Saya tak melihat bangunan kecil tempat beli tiket. Alhasil, kami tak mengeluarkan rupiah memasuki kawasan ini. Jika terawat dengan apik, objek wisata ini akan menghasilkan pendapatan asli daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar